Aku Menangis Untuk Adikku 6 Kali
Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan,
"Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"
Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.
Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata,
"Ayah, aku yang melakukannya!"
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi.
Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau
kehabisan nafas.
Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan
memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan
apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ... Kamu layak dipukul
sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami.
Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di
pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku
menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata,
"Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah
terjadi."
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup
keberanian untuk maju mengaku.
Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih
kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku
ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA
di pusat kabupaten.
Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah
universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok
tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua
anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..."
Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya?
Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"Saat itu juga,
adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau
melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku."
Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya.
"Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika
berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua
sampai selesai!" dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu
untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka
adikku yang membengkak, dan berkata,
"Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya;
kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini."
Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi
meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang,
adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit
kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan
meninggalkan secarik kertas di atas bantalku:
"Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan
pergi mencari kerja dan mengirimu uang."Aku memegang kertas tersebut di
atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata ber- cucuran sampai suaraku
hilang.
Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan uang yang
ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut
semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga
(di universitas) . Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman
sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada
seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana !"Mengapa
ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku
dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku
menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah
adikku?"
Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku.
Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka
tidak akan menertawakanmu?"Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi
mataku.
Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan
tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun!
Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu.
.."Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu.
Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua
gadis kota
memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu."Aku tidak dapat
menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan
menangis dan menangis.
Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23. Kali pertama aku membawa
pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di
mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan
ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk
membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu
adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini.Tidakkah kamu
melihat luka pada tangannya?
Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."Aku
masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum
terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut
lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya.
"Tidak, tidak sakit.Kamu tahu, ketika saya bekerja di
lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu
tidak menghentikanku bekerja dan..."Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku
membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke
wajahku.
Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.Ketika aku menikah, aku
tinggal di kota .
Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal
bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali
meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak
setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu
dan ayah di sini."Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan
adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan.
Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai
pekerja reparasi.Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah
kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit.
Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada
kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer
tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat
kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami
sebelumnya?"
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela
keputusannya.
"Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan
saya hampir tidak berpendidikan.
Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa
yang akan dikirimkan?"
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar
kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena
aku!"
"Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku
menggenggam tanganku.
Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.Adikku kemudian berusia
30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara
pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang
paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab,
"Kakakku."
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang
bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada
dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk
pergi ke sekolah dan pulang ke rumah.Suatu hari, Saya kehilangan satu dari
sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai
satu saja dan berjalan sejauh itu.Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu
gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang
sumpitnya.
Untuk Pdf Bisa di Download disini DOWNLOAD HERE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar